Free Music at divine-music.info
Minggu, 16 September 2012
Senin, 30 Januari 2012
Penggunaan Mekanisme Carbon Trade Untuk Melakukan Pemeliharaan Secara Internasional
Free Music at divine-music.info
Mekanisme Perdagangan Karbon
Perdagangan
karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2
di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang
membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan
yang sudah distandardisasi. Pembeli adalah Pemilik industri yang menghasilkan
CO2 ke atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan
emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon. Fasilitas
pembangkit tenaga bisa termasuk ke dalam industri ini. Penjual Pemilik yang
mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan
akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa
juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi
mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain. (sumber : Wikipedia online,
2007) Protokol Kyoto menawarkan tiga mekanisme fleksibel untuk membantu Negara
negara industry menekan laju emisi karbon yaitu:
1.
Implementasi
bersama (join implementation)
JI
merupakan salah satu dari tiga flexibility mechanisms yang ada dalam
Pasal 6 Protokol Kyoto yang bertujuan untuk membantu negara Annex
I untuk memenuhi komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. JI dapat
dilakukan sebagai salah satu alternatif penurunan emisi secara domestik.
Mekanisme ini biasa disebut mekanisme perdagangan kredit berbasis proyek. JI
biasanya terjadi antara negara industri dengan transisi menuju ekonomi
pasar dengan negara maju yang terdaftar pada Annex
II di LampiranUNFCCC.[iii]
Melalui
mekanisme ini, negara maju dapat meminimalkan biaya yang dikeluarkan bila
dibandingkan melakukan proyek penurunan emisi di negaranya sendiri, sedangkan
negara pelaksana proyek mendapatkan keuntungan berupa tersedianya investasi
melalui bantuan pendanaan ataupun transfer teknologi. Pasar dan aturan pelaksanaan
JI diatur oleh sebuah lembaga yang mirip dengan Executive Board CDM,
yang disebut dengan JI Supervisory Board.
Ada
dua tingkatan JI, yaitu JI Tier 1 dan JI Tier 2. JI Tier
1 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta
perubahannya tidak terlalu rapi (mirip dengan situasi negara-negara
berkembang), sehingga pencatatan dan monitoring di tingkat proyek menjadi
sangat teliti dan hati-hati. Sementara itu, JI Tier 2 adalah
untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya sudah
rapi (sama dengan situasi negara-negara maju lainnya), sehingga monitoring di
tingkat proyek tidak harus terlalu menuntut.[iv]
2.
Perdagangan
Karbon Internasional (International Emission Trading)
IET
merupakan salah satu flexibility mechanisms dalam Pasal 17 Protokol
Kyoto yang memungkinkan sebuah negara Annex I untuk menjual kredit
penurunan emisi gas rumah kaca kepada negara Annex Ilainnya. Semua kredit
penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, seperti Assigned Ammount
Unit(AAU), Removal Unit (RMU), Certified Emission
Reduction (CER) maupun Emission Reduction Unit (ERU) dapat
diperjualbelikan melalui mekanisme ini.
Berbeda
dengan JI yang kredit penurunan emisinya berbasis proyek, IET tidak memerlukan
suatu proyek yang spesifik. IET dapat dilaksanakan apabila suatu negara Annex I
memiliki kredit penurunan emisi gas rumah kaca melebihi target negaranya.
Kredit tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya.
3.
Mekanisme
Pembangaun Bersih (Clean Development
Mechanism).
CDM
merupakan satu-satunya flexibility mechanisms dalam Protokol Kyoto
yang memberikan peran bagi negara berkembang (non-Annex I) untuk
membantu target penurunan emisi gas rumah kaca negara Annex I. Dalam CDM,
negara-negara Annex I dapat memenuhi target kewajiban penurunan
emisinya melalui investasi proyek penurunan emisi (emission reduction
project) maupun perdagangan karbon dengan negara-negara non-Annex I.
Dapat dikatakan bahwa CDM merupakan gabungan antara JI dan IET.
Adapun
tujuan CDM sebagaimana terdapat dalam Pasal 12 Protokol Kyoto adalah:
Membantu
negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama UNFCCC,
yakni menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak
akanmengganggu system iklim global; dan
Membantu
negara-negara Annex I dalam memenuhi target penurunan emisi di
negaranya.
CDM
diharapkan dapat menjadi faktor pendukung munculnya proyek-proyek berbasis
lingkungan di negaranon-Annex I. Proyek berbasis lingkungan tersebut akan
dinilai, dievaluasi dan divalidasi apakah telah berhasil menurunkan tingkat
emisi. Kemudian akan diterbitkan Certified Emission Reduction (CER),
yakni sertifikasi reduksi emisi yang setara dengan 1 ton CO2 oleh CDM
Executive Board. Dengan CER, negara-negara Annex I dapat mengkonversi
nilai tersebut untuk memenuhi target penurunan emisi negaranya.
Disektor
kehutanan Clean Development Mechanism (CDM) dengan bentuk Reducing Emission from
Deforestation in Developing Country (REDD) yang di aktualisasikan dalam proyek penyerapan
karbon aforestasi dan reforestasi. Para peneliti telah memiliki unit ukuran
untuk memperkirakan jumlah serapan karbon secara ilmiah yang kemudian untuk
keperluan praktis dilapangan harus dikonversi kedalam unit yang lebih mudah dan
terukur yakni setara CO2. (CO2
equivalent) atau untuk mudahnya setengah
dari jumlah biomasa
yang dikandung oleh pohon.
Jadi
perdagangan karbon dalam program kehutanan
adalah menjual kemampuan pohon untuk menyerap sejumlah karbon yang dikandung
di atmosfer agar disimpan didalam biomasa pohon untuk waktu yang ditentukan (20
tahun dengan 2 kali perpanjangan atau satu periode
selama
30 tahun saja) sesuai dengan definisi hutan yang telah disepakati di Marrakech
dan definisi kelayakan lahan untuk kegiatan Aforestasi dan Reforestasi MPB yang
telah disepakati di Kyoto (Wasrin,2005) Aforestasi adalah konversi lahan
menjadi hutan pada lahan yang bukan hutan sejak 50 tahun terakhir. Melalui
penanaman, pembenihan dan atau penggunaan sumber benih yang dilakukan oleh
manusia. Reforestasi adalah konversi lahan bukan hutan menjadi hutan melalui penanaman,
pembenihan dan atau penggunaan sumber benih alami yang dilakukan oleh manusia.
Dimana sebelumnya kawasan itu hutan, namun dirubah fungsinya menjadi lahan
bukan hutan. Untuk periode komitmen pertama, kegiatan reforestasi dibatasi pada
lahan bukan hutan pada 31 Desember 1989 (Noviriyanti, 2007). Definisi “bukan
hutan” yang diadopsi oleh
Pemerintah Indonesia adalah
penutupan tajuk vegetasi kurang dari
30%, tinggi kurang dari 5 meter, dan luas minimal 0,25 ha (Wasrin,2005). Perhitungan bisnis
karbon sangat sederhana
setiap upaya penurunan emisi karbon setara dengan 1 (satu) ton
karbon (tCO2) akan di beri 1 (satu) CER (certified emission reduction).
Sertifikat yang mirip surat
berharga yang dikeluarkan
oleh Badan Eksekutif CDM di bawah UNFCCC. Harga CER bervariasi
tergantung kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi, rata-rata harga CER 5-15 US $ (Napitu,2007). CDM bukan merupakan satu-satunya mekanisme
yang dapat diikuti oleh
negara berkembang untuk berpartisipasi didalam mengurangi
pemanasan global. Masih ada mekanisme
yang berkaitan dengan perdagangan karbon antara lain Bio-Carbon Fund, Community
Development Carbon Fund, Special Climate Change Fund, Adaptation Fund,
Prototype Carbon Fund, CERUPT, GEF, Private Carbon Fund yang secara prinsip
seluruh dana tersebut dapat dipakai untuk melakukan kegiatan penanaman
di lahan-lahan bukan
hutan (alang-alang, semak belukar, lahan
terlantar, lahan kritis/marjinal), kegiatan
mencegah terjadinya deforestasi atau kegiatan untuk mengkonservasi
ekosistem alami atau ekosistem yang rentan
terhadap perubahan iklim
global serta konservasi
keanekaragaman hayati yang rentan terhadap kepunahan,
Potensi
Indonesia dalam Mekanisme Carbon Trading
Sebagaimana
yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
areal hutan hujan tropis terluas di dunia. Luas areal hutan Indonesia adalah
sekitar 120,35 juta Ha atau sekitar 68% dari total luas daratan Indonesia. Dari
total luas tersebut, 33,52 juta ha merupakan areal hutan lindung, 66,33 juta ha
merupakan hutan produksi, dan 20,50 juta ha adalah hutan konservasi.[v] Hutan
hujan tropis sebagai paru-paru dunia menjadi komoditas yang vital dalam
menyerap emisi gas rumah kaca untuk meminimalisir kerusakan atmosfer.
Pemerintah
Indonesia sebenarnya telah memiliki komitmen dalam menanggulangi dampak
perubahan iklim, sebagai salah satu peserta dalam Protokol Kyoto, Indonesia
meratifikasi protokol tersebut pada 28 Juni 2004 dengan disahkannya UU Nomor 17
Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations
Framework of Climate Change.[vi] Dengan
potensi hutan yang sedemikian besar, Indonesia memiliki potensi yang vital
dalam perdagangan karbon. Dalam konteks mekanisme CDM khususnya, Indonesia
sebagai negara non-Annex I memiliki keuntungan masuknya investasi
asing, terutama dari negara Annex I dalam mendukung proyek berbasis
lingkungan domestik. Beberapa keuntungan tersebut antara lain:
1.
Sumber dana
Dalam konteks CDM,
Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki potensi menjadi negara tujuan
utama investasi proyek berbasis penurunan emisi dari negara Annex I. Dengan
demikian, dana investasi asing mengalir untuk mendukung proyek berbasis
lingkungan di dalam negeri.
2.
Fasilitas alih teknologi
Dalam Protokol Kyoto
tercantum adanya klausul kewajiban bagi negara-negara Annex I untuk
menyediakan dana alih teknologi kepada negara-negara non-Annex I.
3.
Fasilitas peningkatan kemampuan
Seperti halnya
fasilitas alih teknologi, negara-negara Annex I memiliki kewajiban
menyediakan dana untuk mendukung pengembangan kemampuan di negara-negara non-Annex
I dalam kaitannya dengan perubahan iklim, termasuk kemampuan penelitian,
pemantauan serta adaptasi.
4.
Fasilitas adaptasi terhadap perubahan
iklim
Protokol Kyoto
memberikan klausul fasilitas adaptasi bagi negara-negara berkembang yang rentan
terhadap dampak perubahan iklim seperti Indonesia.
5.
Rehabilitasi kawasan hutan
Di bidang kehutanan,
dana investasi CDM dapat diarahkan untuk mendukung program penghijauan kawasan
hutan, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, Agroforestry,
penerapan Reduced Impact Logging (RIL), peningkatan permudaan alam.[vii]
6.
Kompensasi carbon sequestration
Dalam Protokol Kyoto
juga disebutkan adanya klausul bahwa negara-negara Annex I memberikan
kompensasi kepada negara pemilik hutan tropis untuk mencadangkan wilayah
hutannya untuk penyimpanan karbon (carbon sequestration).
Landasan Hukum Perdagangan Karbon
United
Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1981 memulai proses negosiasi
pengembangan langkah-langkah internasional untuk melindungi lapisan ozon. Upaya
tersebut membuahkan hasil dengan tersusunnya Konvensi Wina tentang Perlindungan
Lapisan Ozon yang disahkan pada bulan Maret 1985, dan kemudian ditindaklanjuti dengan
pengesahan Protokol Montreal pada bulan September 1987. Konvensi Wina merupakan
landasan hukum pelaksanaan perlindungan lapisan ozon ditingkat internasional
yang mensyaratkan seluruh Negara pihak untuk bekerjasama melaksanakan
pengamatan, penelitian dan pertukaran informasi guna memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan mengkaji dampak kegiatan manusia terhadap lapisan ozon serta
dampak penipisan lapisan ozon terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Protokol
Montreal memuat aturan pengawasan produksi, konsumsi dan perdagangan bahan-bahan
perusak lapisan ozon. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina,
Protokol Montreal dan Amandemen London melalui penetapan Keppres no. 23 tahun
1992. Pelaksanaan program perlindungan lapisan ozon di Indonesia difasilitasi
oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai instansi yang bertanggung jawab
terhadap upaya pelestarian lingkungan.
Protokol
Kyoto adalah sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja
sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi
gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. (Sumber wikipedia online, 2007)
"Protokol
Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negaranegara perindustrian akan
mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan
dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan
dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini
berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi ratarata
emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur
heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai ratarata selama masa lima
tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni
Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang
diizinkan sebesar 8% untuk
Australia
dan 10% untuk Islandia." (Sumber : Program Lingkungan PBB) Indonesia telah
meratifikasi Protokol Kyoto sesuai dengan UndangUndang No. 17 Tahun 2004.
Selanjutnya pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Badan PBB untuk Konvensi
Perubahan Iklim (UNFCC), juga dipertegas tentang isu perdagangan karbon ini,
dimana target realisasi tahun 2012, mekanisme perdagangan karbon ini sepenuhnya
telah berjalan. Terlepas dari landasan dasar pelaksanaan program Protokol Kyoto
ini, dalam hal perdagangan karbon masih banyak menemui kendala-kendala.
Walaupun masih sekitar 4 tahun lagi, namun mestinya dari sekarang telah disusun
instrument-instrumen hukum tentang perdagangan karbon ini, agar kita telah siap
untuk menghadapi era perdagangan karbon tersebut.
Regulasi Dalam Negeri terkait
Perdagangan Karbon
Kepala
Subdinas Program Dinas Kehutanan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Anas Mahmudi
mengatakan ingin mengajukan hutannya sebagai salah satu peserta dalam proses
perdagangan karbon dalam pasar karbon dunia.
"Ada beberapa wilayah yang bisa diusulkan. Tetapi, mekanisme untuk
mengusulkannya dan prosesnya seperti apa, kami belum banyak tahu. Butuh penjelasan
lebih lanjut," ujarnya, Koordinator Informasi Flora Fauna Internasional
Dewa Gumay
mengatakan
masih terjadi tarik ulur mekanisme penghitungan hasil perdagangan karbon antara
pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi NAD. Pemerintah NAD menginginkan
seluruh hasil perdagangan karbon masuk ke dalam pendapatan daerah. Sedangkan
pemerintah pusat menginginkan pembagian pendapatan tersebut diatur oleh
Departemen Kehutanan, sebelum dibagikan ke daerah penghasil karbon tersebut. "Mungkin
ini yang mengakibatkan masih ada tarik ulur," ujarnya. di tingkat nasional
dan global sendiri belum disepakati mekanisme lebih spesifik mengenai perdagangan
karbon tersebut. "Apakah karbon akan diperhitungkan per batang kayu yang ditanam
atau langsung per hektar hutan. Mekanisme itu yang akan dibahas nanti,"
katanya (Sumber :Kompas Online, 2007).
Namun
sekarang mungkin kita masih mengkaji bagaimana mekanisme yang menjadi standar
persyaratan internasional sehingga menjadi acuan daerah sehingga tidak berbenturan
dari segi aturan yang dibuat oleh daerah, provinsi maupun kabupaten. Memang
konsep ini
masih
sangat baru, sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Perdangan RI Mari Elka
Pangestu yang juga pemimpin jalannya dialog Informal Menteri Perdagangan
mengenai Perubahan Iklim (Informal Trade Ministers Dialog on Climate Change)
menjelang Konverensi Perubahan Iklim Bali, “Persoalan perdagangan karbon merupakan
hal baru bagi dunia perdagangan. Namun kita harus meresponnya dengan cepat.
Jangan sampai rezim perdagangan bertabrakan dengan rezim perubahan iklim. Kalau
kita menyiapkan dari sekarang, maka akan bisa saling mendukung,”
(Novriyanti,
2007). Terkait perdagangan karbon, di sektor kehutanan telah dibuat beberapa
aturan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/MenhutII/2004 Tentang Tata Cara
Aforestasi Dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. Dalam
Peraturan Menteri tersebut dijelaskan bahwa ; Aforestasi atau Reforestasi dalam
kerangka MPB dapat dilakukan di kawasan hutan, atau hutan adat, atau tanah
negara, atau tanah milik, dalam bentuk Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan tanaman atau Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
perdagangan
karbon. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.26/Menhut-Ii/2005
Tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan tanggal : 16 Agustus 2005, juga dijelaskan bahwa
pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi dapat berupa pemungutan hasil
hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan antara lain berupa : usaha wisata alam ;
usaha olahraga tantangan ; usaha pemanfaatan air; usaha perdagangan karbon;
atau usaha penyelamatan hutan dan lingkungan. Sebenarnya aturan-aturan khusus
di bidang kehutanan terkait REDD telah jelas, hanya saja perlu dituangkan dalam
petunjuk teknis dan pelaksanaan yang akan menjadi acuan bagi daerah untuk
membuat Peraturan Daerah (Perda) provinsi maupun kabupaten yang lebih seragam,
sehingga didalam menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait perdagangan
karbon menjadi lebih jelas, misalnya ketetapan harga jual karbon dan lain-lain.
Pro dan Kontra terhadap Konsep
Perdagangan Karbon
Perdagangan
karbon (Carbon Trade), belum banyak dikenal oleh masyarakat awam, walaupun
pencanangannya sudah sejak tahun 1997, pada saat Protokol Kyoto, namun apa itu
perdagangan karbon dan bagaimana mekanismenya, tetap perlu kita pahami terlebih
dahulu. Pemahaman ini menimbulkan pro dan kontra terhadap konsep perdagangan
karbon dalam mengatasi perobahan iklim. Firdaus, 2007 menyebutkan konsep
perdagangan karbon meminjam konsep yang telah dipakai lima abad yang lalu,
Martin Luther dan kaum reformis sezamannya pernah mengutuk kebijakan gereja Katolik,
di mana seseorang bisa memperoleh pengampunan atas dosadosanya di masa lalu
dengan membayar sejumlah uang. Praktek penghapusan dosa tersebut mungkin bisa
menjadi analogi sekaligus simplifikasi yang pas untuk menjelaskan rumitnya
perdagangan karbon, istilah yang menggaung beberapa tahun belakangan ini.
Melalui perdagangan karbon, negara-negara industri—sebagai penyumbang terbesar
emisi gas karbon dioksida, biangkerok pemanasan global bisa membayar suatu
negara berkembang yang mampu mengupayakan pengurangan emisi karbon. Dengan
begitu, ’dosa-dosa lingkungan’ negara tersebut dianggap tidak ada atau
berkurang. Irwandi Yusuf Gubernur Aceh adalah salah satu dari empat gubernur
yang menandatangani kesepakatan anti deforestasi lokal dan mendukung
perdagangan karbon internasional yaitu Brazil-Amazonas, Aceh, Papua dan Papua
Barat. “orang lain yang menghasilkan karbon, kita yang menyediakan septic
tank-nya. Tapi ingat saja, toilet sekarang tidak lagi gratis. Harus punya malu
jugalah menggunakannya (Indah,2007).
Propinsi
Riau di sela-sela event UNFCCC juga
berhasil melahirkan kesepakatan bersama penyelamatan kawasan gambut Semenanjung
Kampar seluas 700 hektar. Kesepakatan bersama itu ditandatangani oleh Bupati
Pelawan T Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin As, bersama Pemerintah Provinsi
Riau yang diwakili Kepala Bapedal Riau
Lukman dan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari)
Susanto Kurniawan. “Dulu saya pikir tidak ada manfaatnya kawasan gambut. Tetapi
kini dengan adanya mekanisme REDD memberi peluang baru bagi masyarakat.
Sejahtera dengan hutan gambut yang tetap
lestari,” ungkap Arwin As, Bupati Siak (Sumber Riau Todays online, Noviriyanti
2007). Diantara aksi protes konverensi Bali yang disebut hanya menjadi ajang
perdagangan karbon, Juru Bicara Kepresiden RI Andi Mallaranggeng mengingatkan
bahwa kita jangan menganggap bahwa yang harus dilakukan pada konferensi ini adalah
sesuatu yang final. "Ini adalah awal dari serangkaian perundingan lainnya
yang akan berlangsung tahun depan di Warsawa dan Kopenhagen. Bali Roadmap
adalah kerangka menuju post Protokol Kyoto," (Sumber : ina online, 2007) Direktur
Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Slamet Daryoni,
mengkritik upaya Pemerintah Indonesia terkait perdagangan karbon, yang dinilai
cenderung menegosiasikan bagaimana mendapatkan bantuan dari negara maju,
khususnya dalam perdagangan karbon. “Seharusnya pemerintah lebih menaikkan
posisi tawarnya dalam konferensi itu dengan menekan negara-negara maju untuk
mengurangi emisinya. Bukan justru negosiasi untuk memperoleh bantuan dana. Selama
ini dana bantuan, khususnya dalam mekanisme perdagangan karbon, dipakai negara
maju sebagai justifikasi untuk terus menghasilkan emisi gas rumah kaca mereka
yang merusak atmosfir”, (Suara Pembaharuan online, 2007). Dari beberapa kasus
pro dan kontra tentang perdangan karbon terdapat kelompok yang pro cenderung
berada pada pemerintah (baik pusat maupun daerah), sementara yang kontra
cenderung disuarakan oleh lembaga-lembaga non pemeritah (NGO maupun individu).
Kondisi ini dapat dikaji adnya kemungkinan bahwa pihak NGO lebih terfokus pada upaya
penyelamatan lingkungan secara nyata, bukan dengan skemaskema perdagangan yang
dibarengi dengan muatan politis dan ekonomi). Sementara pemerintah cenderung
lebih mengarah kepada upaya penyelamatan lingkungan tapi juga meninjau dari
ekonomi, seperti banyaknya pemerintah daerah yang antusias karena dengan perdagangan
karbon dapat menambah pendapatan daerah disamping kelestarian lingkungan. Perdagangan
karbo juga tidak dapat dikatakan bentuk penghapusan dosa-dosa Negara industri
maju, namun lebih kepada komitmen negara maju untuk penyelamatan lingkungan,
dimana sebagian besar wilayah penerapannya ada pada Negara berkembang. Ada benarnya
pendapat Gubernur Aceh diatas, silakan buang “kotoran” (emisi) anda
Negara-negara maju, tapi “toilet” (hutan) kami tidak gratis (ada kompensasi).
Permasalahan Perdagangan Karbon
dalam CDM
Permasalahan
yang menyelimuti upaya mencegah pemanasan global ini cukup banyak dan beragam,
selain tatacaranya yang masih rumit, sampai kepada persyaratan yang harus
dipenuhi oleh penjual karbon dan kesiapan regulasi dalam rangka menyikapi
mekanisme perdagangan perdagangan. Walaupun konsep ini masih dalam tahap rancangan,
namun sudah ada kerjasama daerah dengan lembagalembaga internasional mulai terkait perdagangan karbon. Salah satu contoh
permasalahan mekanisme perdagangan di bidang kehutanan yaitu, pembeli menginginkan
kepastian hukum dan produk yang berjangka panjang sesuai dengan “nature” dari
objek yang diperdagangkan, yakni sebuah proses penyerapan karbon di atmosfer menjadi
produk bahan organik (biomasa) didalam pohon. Prosedur menjadi seolah-olah
semakin rumit karena
dikaitkan dengan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dari Negara peserta proyek khususnya
untuk aspek sosial ekonomi masyarakat setempat dan aspek lingkungan, Padahal perdagangan karbon hanyalah partisipasi
didalam pengurangan emisi gas
rumah kaca global
dan pengurangan kandungan karbon, sehingga aturan-aturan tersebut
membebani negaranegara berkembang
seolah-olah negara-negara berkembanglah yang banyak menyumbang karbon,
jadi harus melestarikan lingkungan. Jika melihat kenyataan tersebut, wajar beberapa
lembaga yang bergerak di bidang penyelematan lingkungan kurang antusias
terhadap konsep perdagangan karbon, karena hanya menciptakan imperalisme baru
dari negara-negara maju terjhadap negara-negara berkembang. Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati mengatakan mekanisme perdagangan karbon ke depan memang
perlu disederhanakan sehingga memudahkan akses negara-negara berkembang untuk
ikut serta dalam perdagangan emisi karbon itu. "Carbon trade-nya tetap
jalan, tetapi mekanisme perdagangannya harus diefisiensikan. Clean Development Mechanism
(CDM)-nya ingin disimplikasi sehingga lebih mudah akses bagi negara berkembang
untuk mengakses itu secara mudah dan murah,'' Untuk menyederhanakan mekanisme
itu, lanjut Sri, memang dibutuhkan kesepakatan mekanisme perdagangan” ''Setiap
Negara punya kontribusi untuk mengurangi emisi karbon, kemudian akan muncul policy
apa yang dibutuhkan untuk melakukan itu. Kalau mereka melakukan dengan
kebijakan mereka sendiri, entah itu policy energy terutama power plant, policy
di bidang transportasi, subsidi untuk energy alternatif atau insentif lain, ya
harus ada kerja sama''. Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Depkeu Anggito Abimanyu mengatakan saat ini yang terpenting bagi pemerintah Indonesia
adalah mempersiapkan instrumen-instrumen yang dibutuhkan
untuk
perdagangan karbon. (Sumber menkokesra online)30 Terkait dengan regulasi perdagangan
karbon Direktur Program Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat PT Riau Andalan
Pulp & Paper, Neil Franklin mengatakan "Pasar sudah menunggu. Selama
ini, yang ditunggu-tunggu adalah kebijakan yang jelas dari Pemerintah Indonesia
mengenai mekanisme carbon trade. Momentum di Bali seharusnya tidak
disia-siakan" . Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Slamet Daryoni, bahwa persoalan
lain yang ada di Indonesia saat ini adalah tidak adanya kebijakan yang jelas
tentang perdagangan karbon. Menurut dia, pemerintah harus memiliki kerangka
perundang-undangan yang jelas disertai langkah kebijakan menyangkut perdagangan
karbon. (Sumber : suara pembaharuan online, 2007) Dari beberapa pendapat diatas
memang perlu kiranya suatu mekanisme yang lebih tertata didalam perdagangan
karbon, agar didalam implementasinya dapat diadopsi oleh semua pihak. Sementara
itu didalam negeri, pemerintah juga harus menyiapkan instrumen-instrumen hukum sebagai
acuan bagi pemerintah daerah, agar tidak berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan
negosiasi pihak luar. Adanya aturan-aturan tersebut juga akan membawa posisi
tawar (bergaining power) yang lebih tinggi terhadap negara pendonor.
Saat
ini banyak pemerintah daerah yang daerahnya terdapat hutan mulai tergiur pada
iming-iming dolar karbon, padahal mereka belum tahu secara menyeluruh tentang
mekanisme CDM dan konsekuensi apa yang harus dilakukan dalam menjual
karbon. Sebelum melaksanakan proses penjualan karbon ini, pemerintah
daerah harus memiliki data potensi dan trend perubahan hutan, serta model yang
terukur dalam menentukan jumlah karbon. Ini yang kabarnya proyek yang sedang
dikerjakan oleh Departemen Kehutanan ke depannya dengan membangun sistem
penghitungan karbon versi Indonesia.
Sebelum
melakukan carbon trading kita harus memperbaiki sistem dalam
pengelolaan hutan yang baik terlebih dahulu agar hutan tetap dapat lestari.
Kemudian dalam proses penghitungan karbon, maka tentunya tak lepas dari
produktivitas yang terdapat pada hutan. Tiap pohon memiliki batang, tajuk,
cabang, dan akar sehingga penghitungan potensi pohon dalam penyerapan karbon
ini harus dihitung menyeluruh pada seluruh komponen tubuh yang terdapat di tiap
pohon. Menurut penelitian awal, penanaman satu pohon dapat menyimpan sekitar 15
ton karbon per hektar per tahun.
Progam
penjualan karbon ini pada praktiknya tidak mudah karena data dimiliki kurang
akurat dan sulitnya prosedur pencairan dana kompensasi karena sulitnya
syarat-syarat CDM pada Protokol Kyoto yang harus dipenuhi oleh Indonesia.
Penjualan karbon ini sering dimanfaatkan oleh para pialang yang rata-rata
adalah orang luar Indonesia untuk keuntungan semata. Menurut Transtoto, sampai
saat ini proses perhitungan nilai lingkungan dalam penyerapan karbon yang akan
diterima Indonesia tak kunjung usai, serta hasilnya pun belum tentu
menguntungkan bagi Indonesia. Karena kabarnya dat` untuk menghitung pengurangan
emisi karbon harus diolah dengan menggunakan teknologi yang canggih yang tidak
Indonesia kuasai, sehingga patut diwaspadai upaya dari Negara-negara maju yang
ingin menguasai data detail dan informasi komprehensif tentang kehutanan
Indonesia. Saat ini Worldbank dan Indonesia Forest Climate
Alliance (IFCA) terus bekerja keras untuk menyusun metode, proses
monitoring, dan diseminasi dengan dana bantuan dari Australia dan dana multi
donor (WB, DFiD, Jerman, dan lain-lain). Tetapi pada faktanya, Amerika dan
Australia hanya menawarkan dana puluhan juta dolar AS dengan segala
dikte-diktenya, termasuk agar hutan Indonesia di parkir saja. Australia sendiri
hanya menyumbangkan 30 juta dolar Australia dan Jerman 20 juta euro
(Tempo,27/8/07). Padahal menurut Meneg KLH Rachmad Witoelar taksiran kompensasi
nilai ekonomis pada hutan lindung di Indonesia seluas 37 juta hektar adalaha
sebesar 370 juta dolar AS atau sekitar Rp.95.000 per hektar meski sebagai “uang
jaga” saja per tahun dalam pertemuan konferensi perubahan iklim dunia di Bali
2007 lalu, sehingga jelas hal ini akan merusak harga diri bangsa, karena
seolah-olah seperti mengemis uang dari Negara lain. Menurut Transtoto sampai
saat ini harga karbon per ton itu sendiri masih jauh lebih rendah karena
pasarnya belum terbentuk dan pasar bebasnya masih belum liquid. Jika harga
hutan dihargai sekecil itu, maka tidak akan ada apresiasi atau penghargaan
terhadap keberadaan hutan dan pada akhirnya akan tetap terjadi deforestasi dan
degradasi hutan oleh manusia. Sampai saat ini pun belum disepakati secara bulat
berapa harga per ton karbon. Sehingga di harapkan pada tahun 2012 nanti harga
per ton karbon akan menjadi tinggi.
Sudah
saatnya kita mulai mampu mandiri untuk melestarikan hutan Indonesia tanpa perlu
mengemis-ngemis pada Negara lain hanya untuk melindungi hutan Indonesia. Namun
mampukah kita berdikari berdiri tegak, berjuang dan bekerja dengan tanpa
bantuan dari Negara asing yang notabenenya selalu mengeruk keuntungan semata
dari negeri ini? Ini masih menjadi pekerjaan rumah kita sebagai bangsa
Indonesia.
Kesimpulan dan Saran
1.
Green House Effect telah menyebabkan Global Warming dan Climate Change, oleh
karena itu harus diupayakan konsep-konsep penyelamatan bumi (Saving Earth),
bukan hanya oleh negaranegara utara saja atau negara-negara selatan saja, namun
seluruh oleh semua manusia di bumi.
2.
Aspek yuridis dari konsep perdagangan karbon perlu segera ditetapkan sebagai
payung hukum bagi seluruh stakeholder yang terkait.31
3.
Penyederhanaan dan keseragaman mekanisme CDM dalam rangka penyelamatan bumi
dilaksanakan dengan policy (kebijakan) yang komprehensif dan terintegrasi
sehingga perlu kerjasama antar negara secara multilateral.
4.
Konsep perdagangan karbon, secara yuridis bukanlah upaya negara maju menekan
negara berkembang, namun lebih kepada Internasional collaborative dalam upaya
penyelamatan dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)