Rabu, 16 Juli 2014

Pahlawan

Refleksi kepahlawanan

Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,
segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita
“kehilangan kemerdekaan diri sendiri” (Tan Malaka)

Setiap 10 November bangsa Indonesia selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah. Seperti Bung Karno bilang “Jangan Sekali – kali Melupakan Sejarah!”

Hari Pahlawan diperingati setiap tanggal 10 November. Hari dimana terjadi pertempuran hebat antara arek-arek Suroboyo dengan serdadu NICA yang diboncengi Belanda.
Menjelang tahun 1950-an, Presiden Soekarno menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diusulkan Sumarsono, mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang ikut ambil bagian dalam peperangan sengit itu.
Lantas kenapa Bung Karno memilih peristiwa itu sebagai simbol kepahlawanan yang setiap tahun diperingati?

Menurut sejarawan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal, Bung Karno sengaja memanfaatkan momentum itu untuk melegitimasi peran militer dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga nilai kepahlawanan tersemat dalam sebuah perjuangan melawan agresi militer.
“Untuk memobilasi kepahlawanan secara militeristik, makanya 10 November dijadikan Hari Pahlawan,” katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (9/11/2011) malam.

Setelah Hari Pahlawan ditetapkan, figur-figur yang secara historis ikut berjuang pun diberi gelar kepahlawanan. Meskipun, kata Rizal, pada perjalanannya tolok ukur kepahlawanan ini tidak mutlak dilihat dari sisi sejarah, melainkan dicampuri kepentingan rezim penguasa.

“Pada masa Soekarno, tokoh-tokohnya 50 persen masih bisa dipertanggungjawabkan. Tapi mulai zaman Soeharto. Indonesia menjadi negara yang terus memproduksi pahlawan dengan penilaian yang lebih cenderung pada pertimbangan politik,” ujarnya. Dimana pahlawan lebih banyak berasal dari lembaga Kemiliteran atau Kepolisian.

Mengenai makna Hari Pahlawan sendiri, Rizal menilai, saat ini lebih mengedepankan unsur seremoni belaka, tanpa menghayati nilai-nilai perjuangan yang dipesankan oleh para pahlawan ini
Padahal, kata dia, yang terpenting adalah mengambil tauladan dari nilai-nilai perjuangan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akan menjadi ironi jika memperingati hari pahlawan sebatas seremoni. Lebih dari itu, refleksi ini menjadi satu perenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai kaum muda (baca: mahasiswa), mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus persaingan yang global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia. 

Memang secara legal formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di Surabaya 68 tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah lembut. Kita dijajah secara sistem!

Tengoklah berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...

Hal inilah yang secara kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya. 

Pengalaman-pengalaman besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar. 

Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan. 

Namun, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?


musiantotatok@gmail.com

Mahasiswa



Who am I??

Catatan Seorang Demonstran, Orang-orang di persimpangan kiri jalan: kisah pemberontakan Madiun September 1948 ini salah satu karya aktivis Indonesia dan Mahasiswa UI jurusan sastra yakni Soe Hok Gie. Dia adalah seorang pemuda yang enggan terkooptasi oleh penguasa dan tidak takut untuk melancarkan kritik, bahkan kepada rekan-rekannya semasa perjuangan meruntuhkan Orde Lama. Dia adalah seorang yang memilih menjadi “pohon oak” yang berdiri tegak melawan angin, ketimbang menjadi “pohon bambu” yang mudah ikut arus. Dia adalah seorang pemuda yang tetap teguh pada perjuangan melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya.

‘Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.’ ~Soe Hok Gie~

Sepenggal kisah dan quote dari Soe Hok Gie seharusnya sangat memacu kita para mahasiswa saat ini untuk terus berkarya lebih luar biasa untuk Indonesia lebih baik minimal untuk almamater kita saat ini. Kondisi mahasiwa sekarang ini lebih mementingkan posisi jabatannya di daerah kampus, seperti memperebutkan kursi Presma, DPM,  ketua BEMF, dan siapa yang akan dicalonkan? Lalu harus berkoalisi dengan mana? Tetapi berkarya, mengupgrade kemampuan, dan pengabdian kepada masyarakat mulai diabaikan. Apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini semakin menurunkan semangat kaum intelektual muda untuk aktif berkontribusi kegiatan di kampus. Berhati-hatilah terhadap kemajuan teknologi, lama-lama kita pasti akan diperbudak kecanggihannya.Terlebih supaya lagu “Bangun Pemudi Pemuda” Bangun pemudi pemuda Indonesia Tangan bajumu singsingkan untuk negara Masa yang akan datang kewajibanmu lah Menjadi tanggunganmu terhadap nusa Menjadi tanggunganmu terhadap nusa. Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas Tak usah banyak bicara trus kerja keras Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih Bertingkah laku halus hai putra negri Bertingkah laku halus hai putra negri. Tidak hanya menjadi sebuah lagu tapi betul-betul di implementasikan. Tanamkan dalam pikiran anda.. INDONESIA MEMBUTUHKAN ANDA DAN MULAILAH DARI HAL YANG SEDERHANA UNTUK KEMAJUAN DISEKITAR ANDA!! Ayo mulai berkarya dan berbuat nyata dari sekarang saat anda selesai membaca artikel ini.

Jika anda bukan orang yang pandai membuat konsep/ide maka mulailah dengan bergabung ke UKM/organisasi/komunitas yang mempunyai visi dan misi sejalan dengan anda, kalau anda memilih tidak sesuai kemauan anda maka percuma. Anda disana kemungkin­­an besar hanya ½ hati. Jika sudah bergabung mulailah untuk aktif terlibat di kegiatan yang diada disana. Tahap berikutnya mulai membuat ide kegiatan untuk UKM/organisasi/komunitas yang anda ikuti. Tahap selanjutnya pasti anda mulai dipercaya dan diberi tanggung jawab untuk menjadi panitia. Dan jika anda merasa jenuh/sudah menyerap seluruh ilmu maka mulailah ‘lirik’ kegiatan/aktivitas lain yang lebih menantang. Kalau anda sudah punya banyak bekal mulai berkarya dengan hobi anda. Banyak contoh: hobi menulis -> tulislah tulisan yang bisa menginspirasi dan saluran ke media agar tulisan itu tidak berhenti di anda. Hobi bermain catur -> ikuti lomba dan kejuaran catur, hobi berenang -> ikut club dan lomba/kejuaraan, atau anda yang senang melakukan kegitan sosial cari lembaga yang bisa menaungi anda. Prinsipnya jangan duduk diam dikost/dirumah/terlalu sering nongkrong yang nggak penting!!


 Kritik & Saran: dpmfh.unmer@gmail.com
Follow: https://twitter.com/DPMFHUnmer 
Add FB: https://www.facebook.com/dpmfakultas.hukumunmer