Tulisan ini merupakan bentuk apresiasi dan keprihatinan terhadap pelayanan publik di daerah, termasuk di Tangsel. Memang telah ada institusi Pemerintah Daerah (Dinas) yang betul-betul memahami substansi good governance, namun di sisi lain masih ada juga yang tidak memahami apa itu good governance, sehingga hal ini tentu sangat melukai dan bertentangan dengan konsep pembangunan era reformasi saat ini, baik dengan pelbagai instrumen peraturan perundang-undangan maupun kebijakan makro pemerintah pusat dalam mengagendakan reformasi birokrasi, good government to be good governance...
Dalam konteks demokrasi modern, akses informasi merupakan bentuk pengakuan terhadap rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN bahwa Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara (Pemerintahan). Berangkat dari pemahaman tersebut maka substansi good governance harus dapat diimplementasikan dengan baik oleh para penyelenggara Negara, baik di Pusat maupun di Daerah (PEMDA). Namun di sisi lain masih ada Pemerintah Daerah (Dinas) yang tidak memahami apa itu good governance, sehingga hal ini tentu sangat melukai dan bertentangan dengan konsep pembangunan era reformasi saat ini, baik dengan pelbagai instrumen peraturan perundang-undangan maupun kebijakan makro pemerintah pusat dalam mengagendakan reformasi birokrasi, good government to be good governance, hal ini dapat dilihat dari kenaikan gaji Pegawai Negeri pada RAPBN 2011 sebesar 10% dan alokasi anggaran reformasi birokrasi sebesar 1, 4 Triliun. Lebih dari itu, masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik haruslah dilihat sebagai subyek sekaligus tujuan dari penyelenggaraan pelayanan publik. Secara umum, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat, dalam konteks ini penyelenggaraan pelayanan publik berarti tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, tetapi juga oleh penyelenggara swasta.
PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH
Secara filosofis pelayanan publik merupakan salah satu alasan dan tujuan dibentuknya Negara, dengan demikian Negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya. Dalam hal ini, posisi Negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public servant) dan pemberi layanan. Sementara, masyarakat memiliki hak atas pelayanan publik Negara karena sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara, satu diantaranya yang sangat mendasar adalah telah membayar pajak, baik langsung maupun tidak langsung, dimana pajak merupakan sektor pendapatan Negara terbesar (APBN maupun APBD) yang kemudian dapat membayar gaji para pejabat publik, PNS, Polri, TNI serta menjalankan roda pemerintahan.
Ironisnya, kualitas penyelenggaraan pelayanan publik (masyarakat) kerap kali diperlakukan sebagai pihak yang tidak memiliki daya tawar, seperti prosedur yang berbelit-belit, biaya mahal, pungutan liar, ketiadaan standar pelayanan dan bahkan arogansi aparat (pegawai). Pada posisi ini, maka hak sipil sebagai warga negara (citizen) sejatinya telah dilanggar dalam proses memperoleh pelayanan publik yang memang seharusnya diberikan sebagaimana amanat konstitusi. Akibatnya, pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.
BIROKRASI WARISAN PENJAJAH
Dalam prespektif histories, suap merupakan masalah yang sudah memiliki akar budaya, dalam bahasa Indonesia kosakata selain suap sangat banyak, tetapi yang tampaknya paling memiliki akar budaya adalah istilah upeti, berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang berarti bukti kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk, sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut, karena ketika itu pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda. Upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagaisimbiosis mutualisme. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkis ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia. Ini menggambarkan betapa sistem upeti yang telah berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa. Pola patron-client sebagai alat tukar kekuasaan dan dianggap standar yang wajar bagi para birokrat modern.
MENYONGSONG ERA BARU PALAYANAN PUBLIK
Tujuan pelayanan publik kini telah terjawab, meskipun dibeberapa Pemerintah Daerah seperti Blitar, Jembrana dan Boalermo telah mampu mewujudkannya jauh sebelum Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ini dilahirkan, namun setidaknya Undang-undang ini menjadi dasar hukum dalam menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta untuk memberi perlindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan wewenang dalam memperoleh barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Undang-undang ini juga memerintahkan kepada penyelenggara pelayanan publik untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan sebagai tolok ukur kualitas pelayanan, biaya/tarif (berdasarkan Perda pada Tk. Daerah), jangka waktu penyelesaian dan penanganan pengaduan, saran serta masukan. Selain itu penyelenggara pelayanan publik juga berkewajiban untuk menyusun, menetapkan dan mempublikasikan maklumat pelayanan, yaitu pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan, dilengkapi dengan klausul hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran dan mengawasi pelaksanaan standar pelayanan tersebut. Melanggar ketentuan tersebut konsekuensinya dimulai dari pembebasan dari jabatan, penurunan gaji, pangkat bahkan pemberhentian tidak dengan hormat. Jika beberapa daerah yang jauh dari ibu kota Negara mampu, maka seyogianya Kota dan Kabupaten di Banten pun harus mampu untuk mengimplementasikannya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus