Refleksi kepahlawanan
Barang siapa sungguh
menghendaki kemerdekaan buat umum,
segenap waktu ia harus
siap sedia dan ikhlas buat menderita
“kehilangan kemerdekaan
diri sendiri”
(Tan Malaka)
Setiap
10 November bangsa Indonesia selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan.
Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang
jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap
jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu
tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan
merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang
besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka
dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah. Seperti Bung
Karno bilang “Jangan Sekali – kali Melupakan Sejarah!”
Hari Pahlawan
diperingati setiap tanggal 10 November. Hari dimana terjadi pertempuran hebat antara
arek-arek Suroboyo dengan serdadu NICA yang diboncengi Belanda.
Menjelang tahun 1950-an, Presiden Soekarno menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diusulkan Sumarsono, mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang ikut ambil bagian dalam peperangan sengit itu.
Lantas kenapa Bung Karno memilih peristiwa itu sebagai simbol kepahlawanan yang setiap tahun diperingati?
Menurut sejarawan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal, Bung Karno sengaja memanfaatkan momentum itu untuk melegitimasi peran militer dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga nilai kepahlawanan tersemat dalam sebuah perjuangan melawan agresi militer.
“Untuk memobilasi kepahlawanan secara militeristik, makanya 10 November dijadikan Hari Pahlawan,” katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (9/11/2011) malam.
Setelah Hari Pahlawan ditetapkan, figur-figur yang secara historis ikut berjuang pun diberi gelar kepahlawanan. Meskipun, kata Rizal, pada perjalanannya tolok ukur kepahlawanan ini tidak mutlak dilihat dari sisi sejarah, melainkan dicampuri kepentingan rezim penguasa.
Menjelang tahun 1950-an, Presiden Soekarno menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diusulkan Sumarsono, mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang ikut ambil bagian dalam peperangan sengit itu.
Lantas kenapa Bung Karno memilih peristiwa itu sebagai simbol kepahlawanan yang setiap tahun diperingati?
Menurut sejarawan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal, Bung Karno sengaja memanfaatkan momentum itu untuk melegitimasi peran militer dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga nilai kepahlawanan tersemat dalam sebuah perjuangan melawan agresi militer.
“Untuk memobilasi kepahlawanan secara militeristik, makanya 10 November dijadikan Hari Pahlawan,” katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (9/11/2011) malam.
Setelah Hari Pahlawan ditetapkan, figur-figur yang secara historis ikut berjuang pun diberi gelar kepahlawanan. Meskipun, kata Rizal, pada perjalanannya tolok ukur kepahlawanan ini tidak mutlak dilihat dari sisi sejarah, melainkan dicampuri kepentingan rezim penguasa.
“Pada masa Soekarno, tokoh-tokohnya 50 persen masih bisa dipertanggungjawabkan. Tapi mulai zaman Soeharto. Indonesia menjadi negara yang terus memproduksi pahlawan dengan penilaian yang lebih cenderung pada pertimbangan politik,” ujarnya. Dimana pahlawan lebih banyak berasal dari lembaga Kemiliteran atau Kepolisian.
Mengenai makna Hari Pahlawan sendiri, Rizal menilai, saat ini lebih mengedepankan unsur seremoni belaka, tanpa menghayati nilai-nilai perjuangan yang dipesankan oleh para pahlawan ini
Padahal, kata
dia, yang terpenting adalah mengambil tauladan dari nilai-nilai perjuangan
untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akan menjadi ironi jika
memperingati hari pahlawan sebatas seremoni. Lebih dari
itu, refleksi ini menjadi satu perenungan kita bersama, sejauh mana kita
sebagai kaum
muda (baca: mahasiswa), mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal
signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus persaingan yang global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie
bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.
Memang secara legal formal
bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata belum
sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama dengan
apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di
Surabaya 68
tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk
penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah
lembut. Kita dijajah secara sistem!
Tengoklah berapa juta massa
rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu
sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh
dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh
birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan
tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau
namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta
jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak
bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan
atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya
dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah
lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali
diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...
Hal inilah yang secara kongkrit
harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan
pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis
secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif
secara budaya.
Pengalaman-pengalaman besar
harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk
menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan
sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang
berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus
massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan
mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya
sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau
penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan
pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat
utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.
Tugas kita saat ini adalah
memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan
perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat
telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang
jasa-jasa mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan
refleksikan.
Namun, kepahlawanan tidak hanya
berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi
pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan
itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah
perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
musiantotatok@gmail.com